Selasa, 20 Juli 2010

PERENCANAAN DAN FASILITAS GEDUNG RADIOLOGI

oleh aksanur rizal

Dalam merencanakan rumah sakit baru atau melengkapi rumah sakit yang sudah ada dengan peralatan radiologi, maka beberapa hal harus diperhatikan secara teliti dengan maksud supaya peralatan radiologi yang sudah terpasang bisa berperan secara efektif dan ekonomis. Dengan demikian, peralatan radiologi yang merupakan pengeluaran terbesar untuk sebuah rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang sebaik mungkin pada penduduk yang memerlukan jasa pemeriksaan radiologis.

Sehubungan dengan itu, hal-hal yang perlu diperhatikan ialah :

Lokasi Bagian Radiologi, sama seperti Laboratorium Klinik, yaitu ditempatkan sentral, sehingga mudah dicapai dari poliklinik, kamar bedah, bangsal, unit perawatan intensif, dan sebagainya.

Kekuatan dan besarnya peralatan radiologi harus sesuai dengan tipe rumah sakit yang akan dibangun.

Sebagaimana diketahui, tipe rumah sakit menurut ketentuan Departemen Kesehatan yang terakhir ialah :

- Rumah sakit kelas A

- Rumah sakit kelas B

- Rumah sakit kelas C1

- Rumah sakit kelas C2 (dulu kelas D)

Rumah sakit kelas A dan B tidak dibahas lebih lanjut, karena pada umumnya rumah sakit tipe tersebut sudah mempunyai ahli radiologi dan penata Roentgen berijazah, sehingga diharapkan sudah mengetahui tentang syarat-syarat Bagian Radiologi suatu rumah sakit.

Pengaiaman pada masa lampau menunjukkan, bahwa kadangkala sebuah alat Roentgen yang sangat besar ditempatkan di rumah sakit tipe C, sedangkan ruangan yang memadai tidak ada dan kapasitas listrik tidak mencukupi. Lagipula ahli radiologi dan penata Roentgennya belum tersedia. Penempatan alat Roentgen seperti di atas merupakan pemborosan yang sia-sia, karena alat itu akan terbengkalai dan rusak berkarat tanpa dapat dimanfaatkan oleh pasien yang sangat memerlukan jasa pemeriksaan radiologis. Hal semacam ini harus dicegah demi efisiensi pemakaian dana pemerintah dan swasta yang terbatas. Peralatan untuk, rumah sakit tipe Ci dan C2 akan dibahas tersendiri.

Proteksi radiasi peralatan Roentgen dan dinding ruangan harus dapat dipertanggungjawabkan untuk menjamin keamanan pasien, karyawan, dan penduduk pada umumnya.

Tabung Roentgen, gelas timah hitam, tabir fluoroskopi konvensional, diafragma, filter tambahan, karet timah hitam pada tabir, meja Bucky, harus dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan International Committee on Radiation Protection (ICRP), yaitu sebuah badan dari International Society of Radiology.

Alat-alat untuk proteksi radiasi yang dipakai oleh ahli radiologi atau karyawan, seperti sarung tangan yang dilapisi timah hitam dan jubah proteksi yang terbuat dari karet timah hitam setebal 0,5 mm Pb harus tersedia. Meja pengontrol alat Roentgen harus berada di belakang dinding proteksi yang tebalnya ekuivalen dengan 2 mm Pb. Demikian juga jika dipakai gelas timah hitam, tebalnya harus 2 mm Pb. Was ruangan menurut ketentuan Departemen Kesehatan harus 5 x 6 m sehingga memberikan kemungkinan untuk memasukkan tempat tidur pasien secara leluasa. Dinding ruangan terbuat dari bata yang dipasang melintang lartinya 1 bata; jika dipasang memanjang harus dipakai 2 batal. Bata yang dipakai harus berkualitas baik, berukuran 10 x 20 cm. Plesteran dengan campuran semen dan pasir yang tertentu. Dinding yang dibuat menurut aturan ini ekivalen dengan 2 mm Pb.

Arah penempatan pesawat harus sesuai dengan petunjuk ahli-ahli Departemen Kesehatan atau ahli radiologi. Tinggi ruangan minimum 300 cm. Jendela boleh ditempatkan 2 m di atas dinding untuk meringankan biaya proteksi. Kawat listrik yang dipakai besarnya menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dan harus dihubungkan dengan tanah.

Asesoris yang dipakai untuk pemeriksaan Roentgen seperti karet, tabir penguat (intensifying screen), film, mutlak harus baik keadaannya untuk mencegah timbulnya artefak-artefak. Dalam pengalaman sehari-hari tidak jarang ditemukan pemeriksaan yang penuh dengan artefak. Bukankah ini berarti, bahwa pemeriksaan semacam ini akan memberikan kemungkinan diagnosis yang salah, yang berarti juga pasien yang sehat dapat didiagnosis dalam keadaan patologis tertentu. Hal ini tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu setiap kaset harus dibersihkan secara rutin setiap bulan dengan sabun mandi atau cairan khusus untuk itu dan jangan menggunakan sabun deterjen.

Perlu juga diperhatikan dengan teliti identifikasi pasien pada film, paling sedikit harus dapat dilihat mana yang kanan, mana yang kiri dari pasien, dan kode pemeriksaan pasien. Nama pasien, tanggal pemeriksaan dan nomor urut pemeriksaan kemudian ditulis dengan huruf yang jelas setelah film dikeringkan. Lebih baik lagi jika data pasien diketik dan kemudian diproyeksikan secara elektris di kamar gelap dengan sebuah alat sederhana yang dapat dibuat sendiri. Hasilnya memuaskan dan akan memberi bobot yang lebih baik bagi Bagian Roentgen yang bersangkutan.

Kamar gelap yang dipakai luasnya kira-kira 10 m2 dan dibuat juga bak-bak pencucian film dengan dinding porselin putih. Lantai dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kamar gelap yang dipakai di rumah sakit di Indonesia merupakan salah satu matarantai yang lemah sedemikian rupa sehingga untuk menilai baik atau tidaknya Bagian Roentgen di Indonesia cukup dengan menilai kamar gelapnya. Kamar gelap harus selalu bersih dan ini mencerminkan kualitas petugas yang bekerja di dalamnya. Air yang dipakai, harus bersih dan mengalir.

Perlengkapan lain yang diperlukan ialah termometer untuk mengukur suhu cairan developer, kipas angin atau exhauster agar udara dalam kamar gelap selalu bersih dan cukup nyaman bagi petugas yang bekerja di dalamnya selama berjam-jam.

Untuk masuk ke kamar gelap dapat dipakai sistem lorong yang melingkar tanpa pintu atau sistem 2 pintu untuk menjamin supaya cahaya tidak masuk. Warna dinding kamar gelap tidak perlu hitam, sebaiknya dipakai warna yang cerah, kecuali lorong lingkar ke kamar gelap dicat hitam untuk mengadsorpsi cahaya sebanyak mungkin.

Tipe alat Roentgen untuk rumah sakit kelas CZ sebaiknya Basic X-ray Unit (BXU) sesuai dengan Basic Radiology System yang dikembangkan dengan anjuran WHO. Sistem ini dinamakan Basic Radiology System (BRS) yang dikembangkan sejak 1970.

Pengoperasian alat ini sederhana dan dibuat sedemikian rupa sehingga aman sekali dari segi bahaya radiasi. Dalam praktek di beberapa negara, ternyata alat ini dapat menampung 70 % dari semua pemeriksaan yang dibuat di rumah sakit besar. Tenaga listrik yang diperlukan berasal dari 4istrik PLN atau jika belum ada aliran listrik yang cukup atau tidak ada sama sekali, bisa juga dioperasikan dengan baterai. Alat ini tidak dilengkapi dengan fluoroskopi yang banyak memancarkan radiasi jika dilakukan oleh seorang yang tidak berpengalaman. Di banyak negara dan juga di Indonesia ketentuan ini sudah dapat diterima. Fluoroskopi hanya dilakukan untuk menilai pergerakan seperti pergerakan diafragma, pulsasi jantung, dan sebagainya. Fluoroskopi paru yang dulu banyak dilakukan di negara kita untuk diagnosis, sekarang lambat laun ditinggalkan. Di rumah sakit tipe C, (RS-Cl) dapat ditempatkan alat Roentgen 500 mA-100 KV, dengan 2 tabung dan dilengkapi alat fluoroskopi. Di RS-C, ini sebaiknya ada ahli radiologi untuk membantu keahlian lain dalam pekerjaannya. Dengan sendirinya di tingkat rumah sakit ini harus ada penata Roentgen yang berijazah.

Untuk RS A dan B, perencanaan perlengkapan radiologi dan lain-lain sebaiknya diserahkan pada ahli radiologi yang akan bekerja di sana dengan kerjasama ahli-ahli Departemen Kesehatan. Unsur-unsur ini tentunya harus betul-betul profesional dalam bidangnya masing-masing. Pengalaman pahit di waktu yang lampau harus dihindarkan untuk mencegah pemborosan dana yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Segi penting yang kurang diperhatikan dalam merencanakan peralatan radiologi baru ialah tersedianya ahli radiologi, tenaga para medik berijazah, petugas kamar gelap, dan sebagainya. Tenaga ahli radiologi sudah dapat dipenuhi untuk setiap ibukota propinsi, rumah sakit swasta dan ABRI, dalam 5-10 tahun mendatang ini.

Tenaga lulusan Akademi Penata Roentgen IAPRO) masih kurang sekali. Lagipula penempatan tenaga ini di perifer mengalami kesulitan. Program Kesehatan Departemen Kesehatan sebenarnya justru dititikberatkan untuk meningkatkan taraf kesehatan di daerah. Bilamana program Basic Radiology System (BRS) dapat diterima oleh pemerintah, maka akan diperlukan banyak sekali tenaga operator Basic X-ray Unit (BXU) untuk mengoperasikan pesawat secara bertanggungjawab agar diperoleh hasil pemeriksaan yang baik.

Oleh karena itu operator BXU harus dilatih dulu melalui suatu sistem kursus yang diselenggarakan di rumah sakit yang berfungsi sebagai rumah sakit akademik yang besar. Pada saat yang sama BXU dapat di uji terus menerus dimana kelemahannya. Dengan demikian ada kerjasama yang baik antara Departemen Kesehatan dan Fakultas Kedokteran demi meningkatkan daya deteksi penyakit rakyat, seperti misalnya penyakit paru, dan lain-lain. Kemungkinan diagnosis dini seperti yang diharapkan, mungkin bisa berhasil lebih baik daripada sekarang.

Sampai sekarang baru dibahas perencanaan dan pemakaian alat-alat Roentgen yang mempunyai peranan dalam pencitraan diagnostik (diagnostic imaging).

Bagaimana pemakaian alat-alat canggih di rumah sakit di Indonesia?

Perkembangan terakhir Pencitraan Diagnostik dibicarakan dalam bab berikutnya. Disini hanya disinggung beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan dalam perencanaan dan penentuan alat radiologis canggih yang akan dibeli oleh rumah sakit terutama rumah sakit swasta.

Dari pemeriksaan canggih yang ada seperti ultrasonografi, angiokardiografi, digital subtraction angiography, kedokteran nuklir, tomografi komputer, dan magnetic resonance, yang dapat dijangkau oleh rumah sakit swasta pada saat ini hanya ultrasonografi dan mungkin tomografi komputer. Pemeriksaan canggih lainnya sebaiknya diserahkan pada rumah sakit pemerintah/akademik, karena peralatannya terlalu mahal, banyak memerlukan ruangan, alat tambahan dan diperlukan banyak tenaga profesional.

Juga perencanaan dan penentuan pemakaian alat tomografi komputer (CT) di rumah sakit swasta harus dipertimbangkan de ngan masak-masak. Alat ini masih mahal untuk tingkat ekonomi negara kita. Daya beli masyarakat masih rendah dan biaya pemeriksaan tidak bisa ditentukan hanya berdasarkan dalil ekonomi semata-mata. Banyak faktor lain yang turut menentukan besarnya biaya pemeriksaan pasien.

Karena alat tomografi komputer khusus untuk kepala sekarang sudah tidak dibuat lagi,

maka dengan sendirinya harus dibeli alat tomografi komputer seluruh tubuh. Keputusan bagi rumah sakit swasta untuk membeli tomografi komputer akan bergantung pada perkembangan rumah sakit tersebut, lokasinya, tingkat kemajuan dan profesionalisme spesialisasi lain di rumah sakit tersebut serta faktor-faktor lainnya.

Daftar pustaka

Radiologi Diagnostik, sub bagian radiodiagnostik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2000

A Rational Approach to Radiodiagnostic Investigations. Technical Report Series, No. 689, WHO, Geneva, 1983.

Future use of new imaging technologies in developing countries. Technical Report Series, No. 723, WHO, Geneva, 1985.

Gani Ilyas : Fasilitas Diagnostik Roentgen untuk rumah sakit umum. Kongres Nasional II Ikatan Ahli Radiologi Indonesia, 2-4 Juli 1973, Jakarta, Hal. 5-8.

Gani Ilyas S: Perkembangan dan peranan radiologi di Indonesia dalam menunjang program kesehatan nasional. Pidato pada upacara pengukuhan sebagai gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 30 Mei 1981.

WHO-Report : Seminar on the use of Medical Radiological Apparatus and Facilities. 9-21 December 1970, Singapore, WHO, Geneva.

1 komentar: